Modernis.co, Mojokerto – Fenomena perselingkuhan di Indonesia saat ini sangat marak terjadi, tak ayal banyak hubungan suami / istri yang kandas di tengah jalan karena terjebak ke dalam fenomena ini. Bahkan, isu tentang perselingkuhan sangat familiar didengar di tengah masyarakat kita. Selain itu perselingkuhan menjerat ke semua kalangan mulai dari orang sekitar kita, para pejabat hingga paling terakhir para selebritas di Indonesia.
Perbuatan selingkuh juga memiliki istilah tersendiri di tengah masyarakat kita yaitu “Pelakor” yang merupakan singkatan dari “Perebut Laki Orang” dan “Pebinor” yang merupakan singkatan dari “Perebut Bini Orang”. Pada dasarnya kedua hal tersebut memiliki arti yang sama, di mana laki-laki atau perempuan yang sudah memiliki pasangan menjalin hubungan lain di belakang pasangan (ketidaksetiaan).
Kecurangan untuk melakukan hubungan di belakang pasangan mungkin dianggap oleh sebagaian masyarakat kita merupakan tindakan yang tidak bermoral. Bahkan, tidak sedikit korban dari perselingkuhan merasa sangat dirugikan atas tindakan tersebut. Lantas, apakah para pelaku tindakan selingkuh dapat dipidanakan? Tentu saja bisa namun, ada beberapa hal yang harus di perhatikan.
Didalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) tidak mengatur sama sekali terkait dengan tindakan perselingkuhan, akan tetapi perzinahan bagi seorang istri atau suami terhadap pasangan yang bukan pasangan sahnya. Dapat diartikan bahwa pidana tersebut dapat dijerat jika terjadinya tindakan selingkuh dibarengi juga dengan tindakan perzinahan (persetubuhan).
Hal itu dijelaskan dalam KUHP Pasal 284 ayat (1) huruf a : diancam dengan pidana Sembilan bulan seorang pria yang telah kawin yang melakukan mukah (overspel) padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya. Sedangakan Pasal 284 ayat (1) huruf b : diancam dengan pidana Sembilan bulan seorang wanita yang telah kawin yang melakukan mukah.
Dari paparan di atas tentu sangat jelas bahwa tindakan perselingkuhan yang dibarengi dengan persetubuhan maka dapat terjerat pidana. Selain itu, bagi pelakor (perebut laki orang) dan pebinor (perebut bini orang) juga terancam dengan pidana terlebih jika sudah mengetahui pasangannya sudah memiliki seorang istri / suami yang sah.
Hal itu dijelaskan dalam KUHP Pasal 284 ayat(2) huruf a : diancam pidana paling lama Sembilan bulan seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin. Sedangkan Pasal 284 ayat (2) huruf b : seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin.
Maka, perbuatan tersebut dapat dijerat dengan pidana asalkan adanya perikatan perkawinan dan melakukan persetubuhan dengan pasangan yang bukan pasangan sahnya. Apabila, kedua hal syarat tersebut tidak terpenuhi maka tidak dapat dijerat pasal tersebut. Selain itu, pasal tersebut merupakan delik aduan, yang artinya dapat dijerat jika korban perselingkuhan yang melaporkan ke pihak polisi.
Apabila seorang suami / istri yang berselingkuh tidak melakukan persetubuhan, tetap dapat diselesaikan secara hukum. Akan tetapi, bukan dijerat dengan pidana melainkan secara perdata yaitu mengajukan gugatan perceraian kepada pengadilan. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami / istri tidak akan dapat hidup rukun kembali sebagai seorang suami / istri.
Namun, dari dua opsi penyelesaian di atas, alangkah lebih baik jika dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Terlebih tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami / istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat saling membantu untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan materil.
Oleh : Muhammad Haffidhul Umam, SH (Legal Consultant & Tenaga Ahli LBH Mu Kabupaten Mojokerto)